Makassar, Pilarindonesia.com – Beberapa hari yang lalu, warga Kota Makassar dihebohkan dengan sebuah tayangan video berisi tayangan tiga orang siswi lengkap dengan seragam pramuka sedang melakukan pengeroyokan.
Belakangan, para pelajar tersebut diketahui merupakan siswi dari SMP Negeri 21 Makassar. Kejadian pengeroyokan pada Jumat, 7 Januari 2022.
Dinas Pendidikan Makassar telah mempertemukan para siswi, termasuk orangtua, guru dan kepala sekolah. Kasus berakhir dengan penyelesaian secara kekeluargaan.
Kendati demikian, Rusdin Tompo selaku pemerhati anak di Kota Makassar, mengaku sangat prihatin.
“Prihatin saya melihat kasus-kasus begini. Ini sebagai peringatan bahwa pendidikan karakter di sekolah belum berjalan baik. Anak-anak belum memahami nilai-nilai dan filosofi dari pendidikan karakter yang jadi program Kemendikbud RI,” ujarnya kepada Pilarindonesia.com, Selasa (11/1/2022).
Rusdin, yang juga dikenal sebagai penyair dan penulis buku, mengatakan perlu ada pendekatan multi-pihak untuk menanamkan pendidikan karakter yang akan jadi profil pelajar Pancasila. Apalagi sekarang juga dikembangkan sekolah penggerak.
Menurutnya, sekolah mesti bisa jadi poros penggerak literasi ramah anak, yang mengajarkan toleransi, sikap saling menghargai, dengan pendekatan budaya lokal; sipakatau, sipakalebbi, sipakainga.
“Merespons kasus-kasus begini, tidak boleh reaktif. Sekolah harus membangun komunikasi, pendekatan persuasif mencari cara agar kasus serupa tidak terulang. Butuh pendekatan restorative justice dalam penyelesaiannya. Anak-anak mesti diajarkan tentang pendidikan damai, dan membangun budaya damai,” terang Rusdin.
Mantan ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel itu menyebut, pelajar tersebut sengaja berkelahi atau melakukan tindak pengeroyokan/kekerasan dengan merekamnya, sebagai pertanda mereka butuh aktualisasi diri. Hanya saja, yang seperti ini salah kaprah, dan berdampak negatif.
“Anak-anak ini kepingin viral, meski caranya merendahkan orang lain dan juga diri sendiri. Mereka lupa bahwa tindakan seperti itu akan jadi jejak digital bagianya, yang akan merugikannya dalam jangka panjang,” tutur Rusdin.
Olehnya, dia menyarankan bahwa sudah mesti sekolah tatap muka dilakukan reguler, seperti biasa. Toh anak-anak juga sudah mengikuti vaksinasi dan ada aturan prokes. Mereka juga jauh sebelum itu sudah diedukasi terkait PHBS. Perilaku hidup bersih dan sehat. Jangan sampai terjadi loss learning. Perkelahian seperti ini bisa jadi indikasinya. Mungkin saja ada proses pengajaran. Tapi pembelajaran dan fungsi pendidikan plus pembinaan tidak berlangsung optimal.
“Carikan aktivitas yang bisa menyalurkan ekspresi dan kreativitas anak-anak. Biar mereka lebih produktif dan bangga dengan prestasi yang ditorehkan. Bukan kebanggaan semu yang asal viral dan sekadar sensasi sesaat,” jelas Rusdin, yang juga pernah menjabat sebagai komisioner di KPID sulsel.