Makassar, Pilarindonesia.com – Cendekiawan Muslim, Dr. Syamsuddin Arif, MA., membawakan kajian Subuh bertema “Akal dan Rasionalitas dalam Islam”, di Masjid Sultan Alauddin, Jalan Prof. Abdurrahman Basalamah, Kota Makassar, Selasa pagi (10/6/2025).

Dalam kegiatan yang hadiri Ketua Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, MA., dan sejumlah dosen senior UMI, Ustadz Syamsuddin menjelaskan bahwa secara bahasa akal berarti mengikat, menahan dan mengingat.
Secara istilah, kata dia, akal adalah kemampuan untuk memahami esensi sesuatu, membedakan yang hak dan batil, serta menuntun pada kebaikan.
“Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa akal adalah ilmu. Maka, orang yang berakal adalah orang yang berilmu. Akal juga merupakan bagian dari fitrah manusia yang telah ditanamkan oleh Allah SWT. Sebagian pengetahuan sudah ada dalam diri manusia tanpa melalui proses belajar formal. Hal ini menunjukkan bahwa akal adalah bagian dari fitrah yang harus dijaga dan diarahkan,” terang dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jawa Timur, tersebut.
Menurut Ustadz Syamsuddin, di dalam Islam akal (‘aql) bukan sekadar alat berpikir logis, melainkan amanah ilahi yang menuntut tanggungjawab moral dan spiritual.
Dia menyebutkan, akal yang sehat menuntun manusia untuk membedakan antara yang benar dan salah, serta mendorongnya untuk beramal saleh. Allah SWT menggambarkan manusia yang berakal sebagai orang-orang yang beriman dan beramal saleh
“الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ, keimanan yang kokoh dan konsisten dalam beramal saleh adalah manifestasi dari akal yang digunakan dengan benar,” tutur Ustadz Syamsuddin, yang dalam diskusi itu dimoderatori Ustadz Waspada Santing, salah seorang pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sulsel
Ustadz Syamsuddin, yang merupakan alumnus dari salah satu kampus ternama di Jerman, dan dikenal sebagai sosok pemikir Islam, itu mengatakan para ulama salaf membagi manusia menjadi tiga kategori berdasarkan penggunaan akalnya, masing-masing aqil (عاقل), yakni orang yang berakal, sadar akan kebenaran dan mengamalkannya.
Kemudian, ghāfil (غافل), yakni orang yang lalai, mengetahui kebenaran, namun mengabaikannya, lebih fokus pada kehidupan dunia.
Selanjutnya, jāhil (جاهل), adalah orang yang bodoh, tidak mengetahui atau menolak kebenaran.
“Klasifikasi ini mengajak kita untuk merenung di manakah posisi kita? Dalam Islam, akal bukan hanya fungsi otak, melainkan berasal dari qalb (hati spiritual). Sebagaimana dikatakan:
“العقل عمل/فعل القلب وليس آلة ولا جوهرا فاعلا, akal yang cemerlang lahir dari hati yang bersih dan terjaga. Oleh karena itu, menjaga kebersihan hati adalah kunci untuk mempertajam akal,” jelas Ustadz Syamsuddin.
Dia menambahkan, orang yang berakal memiliki ciri-ciri, di antaranya tidak sembrono dalam berpikir dan bertindak. Memegang prinsip dan nilai kebenaran. Mampu mengendalikan hawa nafsu. Menahan diri dari perbuatan yang melampaui batas.
“Akal yang sehat menuntun pada perilaku yang terpuji dan kehidupan yang bermakna. Di antara tantangan terbesar akal adalah syubhat atau kerancuan pemikiran yang mengaburkan kebenaran. Syahwat atau dorongan hawa nafsu yang melemahkan kontrol akal. ومن غلبتْ عقلَه شهواتُه فالبهائم خير منه, artinya orang yang akalnya dikalahkan oleh nafsu syahwatnya dia akan lebih buruk daripada binatang,” ujar Ustadz Syamsuddin.


Editor : Irfan Jurnalis