Gowa, Pilarindonesia.com – Warga Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, menolak pembangunan dua unit rumah ibadah gereja di lingkungan mereka.
Dua gereja yang akan dibangun itu, yakni Gereja Filadelfia, yang mengambil lokasi di Jalan Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa, dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan, yang berlokasi di samping Danau Mawang.
Menurut Aburizal, SH., salah seorang warga, mereka kaget dan mulai mengetahui pembangunan gereja itu saat Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan, datang melakukan peletakan batu pertama untuk pembangunan Gereja Filadelfia, beberapa waktu yang lalu.
“Kami kemudian datang mengecek dan menanyakan serta membagikan kuesioner ke warga yang berada di sekitar lokasi pembangunan gereja, rata-rata mereka tidak setuju ternyata,” ujarnya kepada Pilarindonesia.com, Selasa, 16 Juli 2024.
Bahkan, informasi yang diperoleh Aburizal, pihak Lurah Romang Lompoa tidak pernah melakukan komunikasi dan sosialisasi kepada warga perihal rencana pembangunan gereja itu.
Aburizal mengaku sempat melakukan somasi 2X24 jam kepada Lurah Romang Lompoa agar dilakukan pertemuan dialog dalam menyikapi persoalan tersebut, namun dianggapnya tak ada itikad baik dan penghormatan hukum dari lurah.
Akhirnya, Aburizal bersama ratusan warga lainnya dari kalangan tokoh masyarakat dan kelompok Ormas Islam, dengan mengatasnamakan Aliansi Pemuda Bontomarannu, menggelar aksi damai bertajuk “Tolak Pembangunan Rumah Ibadat Filadelfia dan Gereja Huria Batak Kristen Protestan”, di Kantor Lurah Romang Lompoa, Senin kemarin (15/7/2024).
“Selama dua jam kami berorasi, Lurah Romang Lompoa awalnya tidak berani keluar menemui kami. Nanti setelah didampingi oleh pihak kepolisian, baru berani keluar,” ujar Aburizal, yang bertindak sebagai jenderal lapangan dalam demo itu.
Terungkap Fakta
Menurut Aburizal, terungkap dalam dialog bersama Lurah Romang Lompoa dan pihak Tripika Kecamatan Bontomarannu, diduga terjadinya penggunaan data fiktif berupa 60 kartu tanda penduduk (KTP) milik warga yang dijadikan sebagai persyaratan dukungan pembangunan gereja.
Bahkan, kata Aburizal, ada warga Lansia yang ikut berdialog, mengaku disuruh tanda tangan oleh pihak gereja, namun yang bersangkutan tidak tahu menahu kalau tanda tangan itu sebagai bukti persetujuan dukungan pembangunan gereja.
“Karena warga lansia ini buta huruf, nda tau membaca. Hanya disuruh tanda tangan. Terkait data dukungan 60 KTP warga Romang Lompoa, kami menduga data fiktir atau manipulasi data karena pihak kelurahan tidak transparan terkait data tersebut. Kami menduga sengaja diadakan data fiktif dan pemufatan jahat, sehingga kami akan menempuh jalur hukum selanjutnya,” terang Aburizal.