Terlalu banyak kisah yang bisa saya ceritakan. Terlalu panjang cerita yang dapat saya kisahkan jika semua yang saya alami, sejak usia dini, semenjak mampu mengingat berbagai kejadian dan peristiwa bersama ibu saya.
Karena itu, sekelumit cerita ingin saya tuturkan dalam salah satu fase paling menentukan dalam perjalanan hidup saya. Dan, semua bersumber dari doa seorang ibu, untuk saya, putranya yang paling ia sayang.
Kisah ini, dan beberapa catatan lainnya, termasuk sebuan novel, “Negeriku di Atas Awan: novel pemantik inspirasi, MJA: Bandung, 2019” menjadi bukti nyata, jika, anaknya ini, memberikan inspirasi bagi orang lain, atas nama, seorang ibu. Amma ba’du!
Kisahnya bermula pada tahun 2002 ketika mengajar di Sekolah Menengah Arab An-Nur, Benut Pontian, Johor, sekolah ini pada tahun 2021 menjadi sekolah menengah agama (Islamic boarding school) terbaik di Malaysia.
Kala itu, ketika pulang kampung di tahun yang sama (2002), ayah meminta pada saya untuk segera menikah. Saya paham maksudnya, agar tidak menikah di rantau, karena berharap saya kelak akan kembali ke kampung, mengajar agama pada masyarakat, dan tentu saja jadi imam masjid sebagai niat awalnya mengirim saya berguru di Pesantren Majelisul Qurra’ wal Huffadh (MQWH) di bawah asuhan KH. Lanre Said (1923-2005).
Saat itu, saya mengelak dengan cara memberikan syarat yang bagi saya hampir mustahil dipenuhi, begitu yang terlintas dalam benak. “Boleh, tapi cari istri dokter atau calon dokter, selain itu, tidak usah!”. Setahu saya, ayah tidak punya kenalan, relasi dengan anak perempuan orang lain yang dokter atau calon dokter, jadi pasti, dan pasti itu mustahil dipenuhi.
Ternyata, asumsi awal saya salah total. Selain salah juga dalam memberikan informasi. Maksud saya adalah dokter umum, dan ternyata ada kerabat yang anaknya kuliah di fakultas kedokteran gigi angkatan 2000 di Universitas Hasanuddin (Unhas), kampus di mana Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla pernah kuliah. Ketika kembali ke Malaysia, saya putuskan untuk berhenti mengajar di SMA An-Nur Benut, Pontian. Dan kembali kuliah di Markaz Ad-Dirasaat al-Islamiyah (MARSAH), Jl. Gertak Merah, Johor Baharu.
Di tengah semangat-semangatnya kuliah, ayah menelpon. “Sudah saya dapatkan jodoh untuk kamu, sudah bicara sama orang tuanya, kamu pulang saja, menikah di sini, setelah itu baru pulang lagi ke Malaysia!”. Mendengar begitu, tubuh terasa lunglai, tulang-belulang di badan menjelma menjadi daging semua. Lemas.
Pelajaran berharga: jangan pernah meremehkan orang tua, jangan memberikan informasi bersayap, dan jangan berpikir untuk mengelebui mereka. Masalah utamanya, karena saya sudah tidak mengajar di sekolah formal, jadi sudah tidak ada penghasilan tetap, dan sudah pasti tabungan selama ini habis untuk biaya kuliah, dan untuk kebutuhan hidup, saya mengajar mengaji di masjid-masjid serta bantuan teman-teman kampus.
Demi menghargai orang tua, saya tetap pulang kampung. Singkat kata, satu dan lain hal, di antaranya masalah uang panaik, kisah klasik perempuan tanah Bugis. Yang pasti tidak jadi menikah dengan calon dokter gigi itu, walau sudah berusaha semaksimal memenuhi espektasi orangtua.
Dan, sebelum berangkat kembali ke Malaysia, dalam keadaan sedih karena saya tidak jadi menihkah dengan wanita pilihannya, ibu saya berharap sekaligus sebagai doa. “Tidak usah lama di rantau, kamu kalau selesai kuliah [D3] di Malaysia, kembali saja di Makassar, selesaikan S-1 di Makassar, lanjut S-2 di Universitas Muslim Indonesia (UMI), menikah dengan PNS [pegawai negeri sipil], dan S-3 di Jakarta”.
Semua doa dari ibu, tidak ada satu pun keinginan saya, dan tidak pernah sekalipun terlintas keinginan itu dalam benak, bahkan bagi saya, tidak masuk akal. Sebab, saya sedang proses penyelesaian sarjana muda (D3) di Kampus Kolej Islam Al-Ihsaniyah Pulau Pinang, karena ada masalah visa di Kampus MARSAH, Johor. Kampus ini merupakan twins program dengan Universitas Al-Azhar Mesir. Jadi setiap mahasiswa yang lulus Kolej Al-Ihsaniyah langsung namanya terdaftar di Al-Azhar Mesir, termasuk saya yang telah terdaftar di kampus Al-Azhar Tanta, Mesir. Di sana cukup kuliah 2 semister sudah selesai S-1, yang gelarnya, (Lc.) merujuk ke Francis. Keinginan saya, jika selesai S-1 akan lanjut sampai S-3 di sana, atau lanjut di International Institute of Islamic Thought and Civilisation (ISTAC-IIUM), Malaysia. Jika menikah akan kesulitan dengan PNS karena rencananya, tetap jadi dosen di Malaysia, paling tidak di Jakarta.
Setelah selesai semua persyaratan yang ditetapkan kampus, akhirnya bulan September 2005, kami berangkat dari Malaysia ke Mesir, terbang dari KLIA ke Kairo dengan menggunakan Qatar Airlines, dari KLIA transit di Bandara Internasional Qatar selama 24 jam, jadi sempat di antar ke hotel dan keliling-keliling sekitar kota Qatar. Lalu kembali terbang ke Mesir.
Sesampainya di Bandara Internasional Kairo, saya tidak dibolekan melewati chekpoint karena tidak memiliki visa. Akhirnya diantar ke ruang tunggu, di sana, menunggu selama 24 jam untuk dideportasi ke Kuala Lumpur dengan pesawat yang sama, Qatar Airlines. Kesalahan terletak pada pihak kampus yang mengurus keberangkatan saya. Memahami bahwa status Indonesia dan Malaysia sama di hadapan imigrasi Mesir. Dapat berkunjung langsung tanpa dengan visa. Katanya, “Visa nanti diurus di Mesir, langsung berangkat saja, tiket sudan kami belikan,”. Ternyata, warga Indonesia jika hendak ke Mesir terlebih dulu harus punya visa, karena saya tidak memiliki visa untuk masuk Mesir, akhirnya, dideportasi. Padahal teman-teman yang lebih dulu kuliah di Al-Azhar sudah datang ke Bandara Kairo untuk menjemput saya.
Akhirnya, kembali ke Kuala Lumpur, langsung ke Johor. Bahkan bagasi saya, dibawa oleh teman-teman masuk ke Mesir, hingga sekarang tidak pernah tau dimana rimbanya, konon dikirim kembali ke Malaysia, di rumah teman daerah Bukit Ceraka Klang, Selangor. Dari Johor menyeberang ke Tanjung Balai Karimun. Di sana saya dan teman-teman mengembangkan Pondok Pesantren Al-Qur’an, di bawah naungan DPD Hidayatullah, Tg. Balai Karimun, Kepulauan Riau yang sudah saya rintis sejak tahun 2002.
Sebagai salah satu Pimpinan Pondok, saya beraktivitas seperti biasa, mengajar, mengasuh para santri, mengurus segala hal yang terkait dengan pondok. Selain menggencarkan silaturrahim dengan berbagai elemen, dari RT hingga Bupati. Kala itu dijabat oleh Muhammad Sani, lalu digantikan dengan Nurdin Basirun. Walau saya di Karimun, namun tetap berkomunikasi dengan pihak kampus Kolej Al-Ihsaniyah Pinang, Malaysia. Mencari solusi yang terbaik, setidaknya ada ijazah tanda lulus D3. Ternyata, Kolej Al-Ihsaniyah juga sudah menjalin kerjasama dengan IAIN Sultan Thaha Saefuddin, Jambi. Saya pun mendapat ijazah dan transkrip nilai yang bisa digunakan untuk melanjutkan studi S-1 di IAIN Jambi atau kampus-kampus lainnya yang setara dengan IAIN di seluruh Indonesia, cukup dengan kuliah 3 semister.
Musibah datang. Saya terkena penyakit malaria yang mengharuskan diopname sampai dua minggu. Setelah itu, saya tidak bisa berdiri, dan akhirnya lumpuh. Teman-teman sepakat memulangkan saya ke Jakarta, di rumah keluarga di Perum Griya Bukit Jaya Gn. Putri, Bogor. Ibu, kakak, dan adik sudah menunggu di sana. Kemudian dirawat, dan sempat diopname di RS PMI Bogor. Namun tidak ada perubahan, tetap lumpuh dan kian parah.
Lalu, saya dibawa ke pengobatan alternatif, namanya Alat Terapi Fisik Gondo (ATFG). Semacam totok saraf, jadi cara kerjanya menghidupkan saraf-saraf yang tidak atau kurang berfungsi. Karena salah satu penyebab lumpuh adalah ketika saraf-saraf tidak berfungsi dengan baik, walau saraf mendapatkan perintah dari otak, tetap tidak bisa bergerak jika mengalami disfungsi. Selain ditotok dengan alat khusus, pasien diharuskan mandi dengan air hangat, dan memperbanyak makan pepaya mengkal tanpa dicuci, sebab getah dalam buah pepaya membantu mereduksi toksik yang ada pada tubuh.
Terapi pada pertemuan pertama langsung ada hasil. Saya sudah bisa duduk, yang selama ini hanya berbaring dan di gotong ke WC jika ingin BAB. Pertemuan kedua minggu berikutnya, sudah langsung mampu berdiri, pertemuan ketiga pada minggu ketiga, saya sudah bisa jalan, dan akhirnya sembuh, alhamdulillah. Setelah sembuh total dengan tiga kali terapi, sekali terapi hanya butuh bayar ke terapis 20 ribu. Dibandingkan dengan rumah sakit, tentu jauh lebih mahal dan tidak ada hasil yang memadai.
Setelah sembuh, saya kembali lagi ke Tg. Balai Karimun, mengajar, bahkan sempat silaturrahim ke Johor dan Singapura, sekitar tahun 2007. Tidak lama kemudian, ada rasa bersalah pada orang tua, terutama ibu, dan selalu ada bisikan dalam hati agar kembali menyelesaikan kuliah, di Makassar. Di saat yang sama, akan diadakan diklat dai Asia Muslim Charity Foundation (AMCF) Angkatan ke-5. Akhir tahun 2008 hingga awal 2009, selama tiga bulan, saya ikut diklat yang diadakan di kampus Ma’had Al-Birr Universitas Muhammadiyah Makassar. Sambil ikut pelatihan, saya mendapat informasi jika dekat Unismuh terdapat Sekolah Tinggi Darul Da’wah Wal Irsyad (DDI) Makassar di bawah kepemimpinan KH. Alwi Nawawi. Saya bertanya syarat-syarat untuk bisa kuliah dengan status pindahan dari kampus lain. Pihak rektorat meminta ijazah D3, dan transkrip nilai, lalu diterima di semister 6. Kuliah pun hanya di akhir pekan.
Selama mengikuti Diklat Dai AMCF, saya juga rutin ke Perpus Daerah yang tidak jauh dari Unismuh, hanya berseberangan. Sambil melakukan riset tentang islamisasi di Sulawesi Selatan, hasilnya sudah terbit di Jurnal Islamia, “Islamisasi Sulawesi Selatan: Peran Ulama dan Raja-raja”. Jurnal ISLAMIA. Vol. II. No. 2. April 2012. Setelah selesai diklat, saya tetap di Makassar, mengajar di SMP Ittihad, Jl. Gn. Lokon, Makassar, selain bergabung di Yayasan Indonesia Bersih yang berlokasi di Jalan Andi Tonro. Dan, juga menyelesaikan sebuah buku penting, “Jejak Dakwah KH. Lanre Said: Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi”. Terbit di Jogjakarta: Aynat Publishing, 2010. Pada tahun 2009, saya selesai kuliah S-1 di DDI Makassar, sebagai mahasiswa terbaik di Jurusan Managemen Dakwah. Setelah itu, kembali ke Jakarta, bergabung dengan Arrahman Qur’nic Learning (AQL), lembaga dakwah yang dikelola oleh Ust. Bachiar Nasir. Saya tetap ingin lanjut S-2 tapi bukan di UMI, melainkan di UGM Jogjakarta pada jurusan antropologi, atau di kampus-kampus ternama di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta dan keliling Jawa, akhirnya pertengahan tahun 2011, saya putuskan kembali ke Makassar, ingin lanjut S2 di UIN Alauddin. Saya pun mendaftar, namun juga mendaftar di UMI. Kedua-duanya lulus, dan pilihan saya lebih berat ke UMI karena bisa kuliah di akhir pekan, selain dosen dan akreditasi program studinya juga sama. Saya pun bersemangat kuliah seperti biasanya, paling rajin di antara teman-teman, dan jika ada tugas, benar-benar saya tulis dengan serius. Makalah-makalah kuliah saya, beberapa saya tayangkan di website dan telah dibaca puluhan ribu kali, sebagian lainnya saya simpan untuk dijadikan buku.
Jodoh datang. Seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengajar di SMP Negeri 6 Ranga, Enrekang. Kala itu, dia juga sedang mengambil S-2 di Universitas Indonesia Timur, dia minta bantuan untuk kelancaran penelitian tesisnya. Saya pun bantu, dan menjadi wasilah untuk naik ke jenjang pernikahan, tepat di Hari Rabu, 23 November 2011 bertempat di rumahnya, KM-6 Kulinjang, kami resmi sebagai pasangan suami-istri.
Di awal 2013, saya selesai kuliah di UMI, termasuk mahasiswa terawal selesai dengan tesis, “Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Kini telah jadi buku dengan judul “Pendidikan Sebagai Ta’dib menurut Al-Attas”, Pustaka Amanah: Jakarta, 2021. Ketika kuliah magister di Sekolah Pascasarjana UMI hingga selesai, tetap menjadi peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Makassar, di bawah KH. Said Shamad. Penelitian terkait Syiah jadi fokus utama, lebih khusus tentang pikiran-pikiran Jalaluddin Rakhmat. Walau tidak meninggalkan masalah-masalah keagamaan lainnya. Tetapi kami lawan dengan hujah yang ilmiah walau dengan diksi yang kadang lebih vulgar. Dengan kitab melimpah, dokumen lengkap, dan penguasaan bahasa asing: Arab Inggris yang mumpuni, tidak susah mempreteli kesestan Syiah. Tulisan-tulisan saya dan juga KH. Said Shamad sebagian sudah masuk dalam buku, “Indonesia Tanpa Syiah”, Pustaka Amanah: Jakarta, 2021.
Kesempatan bergabung di Universitas Bosowa terbuka untuk saya. Sudah dilakukan wawancara, termasuk jumlah honor saya terima sebagai peneliti dan humas di kampus yang kini masuk jajaran 10 besar kampus terbaik di Indonesia Timur.
Sambil menunggu panggilan, saya mendaftar kuliah program doktoral di Pascasarjana UIN Alauddin, juga mencoba untuk ikut seleksi Program Beasiswa Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam Program Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) yang bekerjasama dengan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Entah apa yang melupakan ingatan saya, sehingga jadual seleksi program doktoral yang tepat pada 7 Agustus 2014 saya lewatkan. Ketika tiba di kampus, para peserta ujian sudah selesai. Akhirnya, saya tidak lulus masuk kuliah doktoral di Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.
Ketika diminta masuk kerja di Universitas Bosowa, di minggu yang sama, saya juga dinyatakan lulus mendapatkan beasiswa Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) jenjang doktoral, dan diharuskan mencari kampus sesegera mungkin. Saya pun ke Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor mendaftar, dan dites. Tesnya sama seperti biasa: menerjemahkan teks Arab dan Inggris. Dan tidak lama kemudian, dinyatakan lulus. Dan saya pun masuk kuliah di UIKA dan tinggal di AQL, Tebet, Jakarta, sambil membantu progrm-program dakwah di lembaga tersebut. Ini berlangsung sejak 2014 hingga akhir 2015, sebab pada akhir tahun 2015, saya ikut seleksi Pimpinan BAZNAS Enrekang, dan dinyatakan lulus, pada akhirnya dilantik oleh Bapak Bupati Enrekang sebagai salah satu dari lima pimpinan BAZNAS Enrekng pada tanggal 9 Maret 2016. Dan akhirnya, pada 27 April 2017, saya berhasil mempertahankan penelitian dalam bentuk disertasi, “Konsep Pendidikan Kader Ulama Anregurutta Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907-1952)”, di hadapan penguji, Prof. Abuddin Nata, MA., Dr. Syamsuddin Arif, MA., Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., H. Adian Husaini, Ph. D., Dr. H. Abas Mansur Tamam, MA., di Sekolah Pasca Sarjana UIKA Bogor. Saya dibimbing langsung oleh: Prof. Abuddin Nata, MA., dan Dr. Syamsuddin Arif, MA.
Berbagai rintangan dalam perjalan hidup telah saya lalui. Titik pangkalnya ketika ibu berharap dan berdoa: semoga pulang ke Makassar menyelesaikan S-1, lalu kuliah S-2 di UMI Makassar, menikah dengan PNS, dan lanjut S-3 di Jakarta. Doa itu yang berusaha saya lawan untuk tidak terealisasi, makin dilawan makin menimbulkan masalah buat diri sendiri. Selama doa ibu belum terealisasi selama itu hidup saya dalam keadaan galau dan hampa, merasa bersalah, merana, dan selalu tanpa arah tujuan.
Ada kekuatan dari doa-doa itu, tidak mampu saya lawan. Usaha apa pun yang saya lakukan untuk mengalihkan doa ibu, yang menurut saya lebih baik dan lebih cocok buat saya, selalu berujung pada kegagalan, penderitaan, dan berakhir dengan penyesalan. Pada akhirnya, saya merasa bahwa hidup bagi saya, laksana mengumpulkan kegagalan demi kegagalan untuk mencapai kegagalan berikutnya. Doa ibu laksana mukjizat, melemahkan semua usaha seorang anak untuk melawan doa ibunya.
Setelah akumulasi kegagalan membumbung tinggi, pada akhirnya, doa ibu berjalan seperti kompas atau sebuah pemandu. Ada kekuatan di sana, melemahkan segala rintangan. Dan pada akhirnya, laksana air mengalir, hidup dengan panduan doa ibu, itulah jalan terbaik buat saya. Setelah saya kaji literasi filsafat kehidupan, akhirnya menemukan bahwa, Allah menetapkan takdir buat hamba-Nya namun sang hamba juga diharuskan berusaha. Pertemuan antara ketetapan Allah dan keinginan sang hamba itulah disebut “at-taufiq”, atau “taufik” dalam lisan Indonesia. Nah, doa ibu itulah yang akan menjadi sarana untuk mendapatkan taufik Allah.
Ibu yang saya, dalam kisah di atas adalah Hawa binti Soma (1947-2023), telah menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 15.10, wita, di rumah kakak saya, Kompleks Perumahan Taman Ria Persada Blok E-10 No 10. Kel. Pasir Angin. Cilengsi. Bogor Jabar. Rahimahallah rahmatan waasi’ah. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya yang maha luas pada ibu saya. Aamiin.
Pasir Angin, Cileungsi, Bogor, 22 September 2023
Penulis: DR. Ilham Kadir, MA., seorang penulis, peneliti dan akademisi
