Setiap hari kaum Muslim semakin menyadari pentingnya spiritual diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap ada perumahan di dalamnya, juga pasti ada masjid untuk tempat beribadah, belajar dan silaturahim.
Semakin bertambah masjid, maka semakin bertambah juga kebutuhan imam dan penceramah, dan itu tidak bisa dipungkiri karena memang kebutuhan. Bahkan banyak orang kaya yang dermawan, siap menjadi donatur tetap untuk menghadirkan imam dan penceramah yang berkualitas
Melihat fenomena seperti ini yang terjadi di masyarakat, akhirnya banyak yang tertarik menjadi ustadz (penceramah dan imam), meskipun pendidikan dan latarbelakangnya tidak jelas hanya berlandaskan keberanian, nekat, penampilan dan suara, karena status seorang ustadz di tengah masyarakat sangat dimuliakan
Menjadi seorang ustadz memang hak semua orang, apalagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam menganjurkan supaya menyampaikan dakwah walaupun hanya satu (Balligu ‘anni walau ayah H.R Bukhari), dari hadist ini menunjukkan bahwa apapun profesi kita harus bisa menyampaikan ajaran Islam (berdakwah) kepada orang lain sesuai dengan apa kita ketahui.
Namun yang menjadi persoalan jika para ustadz/ penceramah tidak melaksanakan apa yang disampaikannya atau dia sendiri melanggar apa- apa yang dia telah diajarkan kepada orang lain serta tidak bisa menjadi teladan yang baik di tengah masyarakat, seakan-akan ustadz atau penceramah yang demikian beranggapan bahwa apa yang disampaikannya itu hanya untuk orang lainnya, jama’ah, bukan untuk dirinya sehingga ada di antara para ustadz melanggar apa yang dia larang tanpa merasa bersalah.
Seperti contoh, dalam ceramahnya sering membahas masalah kejujuran, padahal dia sering bohong, menipu dan mengkhianati temannya, apakah ini bisa menjadi contoh di tengah masyarakat ? tentu kita semua menjawab tidak! Apakah ini tidak dilarang oleh agama? Al Qur’an dan hadits menjawabnya:
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٣﴾
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(Q.S.61:3)
أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿٤٤﴾
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Q.S.2:44)
Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan sebuah hadis tentang nasib orang yang hanya pandai berkata-kata, tanpa tindakan nyata. “Pada hari kiamat kelak, ada seseorang dipanggil. Ia kemudian di lemparkan ke dalam neraka sehingga ususnya terburai, dan berputar-putar bagai keledai menarik penggilingan. Penduduk neraka mengerumuninya, dan bertanya “Mengapa kamu ini? Bukankah kamu dulu suka memerintahkan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran?”
Orang tersebut menjawab: “Benar! Aku suka mengajak kalian berbuat kebaikan, tapi aku sendiri justru tidak melakukannya. Aku juga suka mencegah kalian dari kemunkaran, tapi aku sendiri malah melakukannya.”
Ayat dan hadits di atas mengatakan siapa saja (tidak mesti ustadz) melanggar apa- apa yang dia telah diajarkan kepada orang lain,maka besarnya ancaman dan hukumannyanya, nauzubillah min dzalik
Termasuk juga merusak citra para ustadz / penceramah, jika ada ustadz rusak mental dan moralnya seperti suka menjelek-jelekkan ustaz yang lainnya hanya untuk meraih simpati jama’ah, iri dan dengki jika ada ustadz lebih terkenal darinya, tidak amanah melaksanakan tugasnya padahal sudah mengiyakan akan isi jadwal yang diberikan kepadanya tanpa ada komunikasi sebelumnya, mengkomersialkan dakwah kepada umat dan lain-lain.
Penulis: Syarifuddin Liwang, Founder Posko Yatim, Da’i IDMI (Ikatan Da’i Muda Indonesia) dan ketua ASPOPENI.