Jakarta, Pilarindonesia.com – Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI) sukses menggelar Lidmi Intellectual Forum dengan tema “Hakim MK Dipecat DPR: Upaya Melumpuhkan Independensi MK?”. Kegiatan itu dilaksanakan secara virtual via Zoom Meeting, Jumat (14/10/2022).
Lidmi Intellectual Forum kali ini menghadirkan 3 pembicara, yakni Dewan Pakar PP Lidmi sekaligus pakar hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Kemudian Feri Amsari, S.H.,M.H., LL.M., selalu direktur Pusat Studi Konstitusi Andalas, serta Fajlurrahman Jurdi, S.H., M.H, pakar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Diskusi itu berkaitan dengan pencopotan Prof Aswanto sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang dilakukan DPR RI, kemudian diganti dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, Guntur Hamzah.
Penunjukan itu disahkan melalui rapat paripurna DPR yang berlangsung pada 29 September 2022. Aswanto dicopot karena dianggap mengecewakan DPR.
Fahri Bachmid, dalam pokok materinya, mengungkapkan pentingnya independensi dalam pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi RI.
Dia menyampaikan mekanisme pengusulan hakim MK harus sebangun dengan spirit konstruksi norma konstitusional, sebagaimana rumusan pasal 24C ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, bahwa hakikatnya Hakim Konstitusi harus independen, prinsip independence of judicial adalah absolut, secara konseptual kemandirian maupun kelembagaannya tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.
Menurut Fahri, berdasarkan desain konstitusional sesuai Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihinan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD, filosofi independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah kekuasaan negara yang bebas dari segala bentuk intervensi dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, kecuali atas dasar kekuatan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Nilai-nilai falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang diletakkan dalam UUD 1945 dan pelbagai peraturan perundang-undangan adalah koridor hukum dasar dan koridor hukum operasional bagi eksisnya independensi kekuasaan kehakiman sebagai prasyarat tegaknya hukum dan keadilan yang dicita-citakan.
Dia menyebut, pemecatan hakim MK yang terjadi belakangan ini hanyalah sebuah bentuk akrobat politik yang pada dasarnya bertentangan dengan UUD 1945,
“Secara pribadi saya berpendapat apa yang terjadi kemarin tidak lebih dari suatu akrobat politik sehingga tidak mempunyai implikasi secara hukum tatanegara. Pada hakikatnya pengelolaan sebuah negara demokrasi konstitusional saat ini mestinya menjadikan hukum sebagai panglima, bukan politik,” tegas Fahri.
Adapun Feri Amsari menganggap bahwa intervensi DPR terhadap MK merupakan pelanggaran secara administratif.
“Dari model konsep kekuasaan Mahkamah Konstitusi, sebenarnya tidak mungkin DPR mengintervensi kekuasaan kehakiman, apalagi MK dengan menggunakan analogi yang tidak masuk di akal. Janggal sekali apa yang dilakukan oleh DPR padahal model seleksinya sudah ada, tidak sah secara administratif dan bermasalah bisa diuji di PTUN,” ungkapnya.
Fajlurrahman sendiri menyoroti persoalan ini dari konsep trias politica.
“Mestinya kekuasaan itu tidak saling mencampuri satu sama lain dan ini adalah prinsip yang dibangun dalam Trias Politica. Banyak orang mencita-citakan republik demokrasi tapi (pada akhirnya) menginginkan raja,” tegasnya.
Fajlurrahman menganggap bahwa apa yang dilakukan DPR itu adalah sebuah kejahatan politik yang melanggar konstitusi dan melanggar ketentuan undang-undang.
“Jika Presiden terpaksa mengeluarkan Keppres, maka harus ada kelompok yang siap menggugat PTUN atas keputusan itu,” sebutnya.