Jakarta, Pilarindonesia.com – Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang berpotensi serius. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, namun seringkali menyerang paru-paru.
Bakteri yang menyebabkan tuberkulosis ditularkan dari satu orang ke orang lainnya melalui droplet kecil di udara yang dilepaskan melalui batuk dan bersin.
Dokter Spesialis Paru Siloam Hospitals Makassar, dr. Adrianne Marissa Tauran, Sp.P., menuturkan kasus TBC cukup bisa disembuhkan walaupun Indonesia menempati peringkat 3 di dunia dalam kasus TBC.
Dia menyebut, pengobatannya cukup dalam waktu 6 bulan dengan kondisi normal, yang terbagi dalam 2 tahap, yaitu fase awal, di mana pengobatannya selama 2 bulan dengan minum obat setiap hari. Sedangkan untuk fase lanjutan, pengobatannya dengan selama 4 bulan dengan minum obat selang satu hari.
Menurut dr. Anke, sapaan akrabnya, untuk mencegah penularan TB, maka harus mampu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, yang dimulai dari diri pribadi. Kemudian konsumsi makanan yang bergizi, karena jika daya tahan tubuh kurang, maka akan lebih mudah terpapar TBC dibandingkan dengan orang yang daya tahan tubuhnya baik. Lalu gunakan masker atau menutup mulut sewaktu batuk atau bersin agar dapat menghindari terjadinya penularan dan tidak meludah di sembarang tempat.
“Namun perlu diketahui juga bahwa tidak semua penderita TB itu harus memiliki gejala batuk, sesak napas, batuk berdarah, harus berat badan turun, harus mengalami lemas.
Dengan salah satu gejala yang disebut tadi sudah perlu dicurigai mengidap TBC. Dan untuk di era sekarang yang mungkin kondisi ekonomi sudah lebih baik dari era dahulu, sering ditemui pasien dengan tanpa gejala, hanya karena sedang melakukan MCU, dan dengan hasil foto thorax ternyata ditemukan pasien sudah mengidap TBC,” terang dr. Anke.
Pada kasus anak yang mengalami TBC, dia menyampaikan, perlu diketahui bahwa anak tidak menularkan TBC. Karena anak belum dapat melakukan percikan melalui batuk atau bersin yang dapat disemburkan. Secara umum daya tahan tubuh yang baik dapat mencegah seseorang tertular penyakit TBC.
Dokter Anke memaparkan, faktor risiko terbesar dan utama dari penyakit TBC, yaitu rokok. Rokok menjadi sumber asal muasal dari semua penyakit.
“Kalau kita bicara tentang kasus paru, tentu saja rokok ini sangat menjadi musuh utama. Jadi, rokok ini secara langsung dan tidak langsung tentu saja dapat menyebabkan TBC yang melalui penurunan daya tahan tubuh, merusak fungsi paru. Jadi, bagi perokok diwajibkan untuk segera merubah gaya hidup dengan berhenti merokok,” paparnya.
Jika orang datang memeriksakan diri dengan keluhan batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, berat badan turun, ada kondisi lemas, dr. Anke menyarankan, orang tersebut segera dilakukan pemeriksaan lanjutan, yaitu dilakukan pemeriksaan dahak dan pemeriksaan radiologi atau foto dada.
“Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan dahak yang negatif bukan berarti pasien itu tidak TBC. Jadi, TBC ini dapat menyerang ke seluruh tubuh, baik organ usus, kelamin, kandungan, otak dan tulang. Proses terjadinya berawal dari percikan dahak orang yang sedang menderita TBC. Kemudian masuk dan tertular ke saluran nafas orang yang daya tahan tubuhnya turun. Lalu TBC akan bermanifestasi di Paru dan berpindah ke kelenjar getah bening atau pindah ke organ yang lain,” jelasnya
Apakah TBC dapat menyebabkan kematian?
Secara angka, ditemukan data terbaru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia bahwa terdapat 11 pasien meninggal karena TBC dalam kurun waktu 1 jam. Ternyata kasus ini lebih besar daripada kasus Covid-19.
“Covid-19 ini adalah penyakit yang disebabkan karena virus. Virus itu sudah kodratnya untuk sembuh sendiri selama daya tahan tubuh baik, maka penyakit yang disebabkan oleh virus akan sembuh dengan sendirinya. Berbeda dengan TBC yang disebabkan oleh bakteri, sehingga harus diobati. Dan TBC tidak bisa sembuh dengan pengobatan herbal,” tutur dokter Anke.
Dia menyampaikan, untuk penderita TBC, murni tidak ada pantangan makanan. Yang haru dilakukan si pasien, yakni perbaiki nutrisi, khususnya kalori dan protein. Tetapi jika pasien TBC ini menderita kencing manis, maka harus dilakukan kolaborasi dengan konsultasi pada dokter gizi dan penyakit dalam. Untuk pasien TBC harus dilakukan pemeriksaan gula darah dan HIV-nya. Hal ini dilakukan untuk skrining agar dapat diketahui apakah pasien menderita kencing manis atau HIV. Sehingga dapat lebih cepat menatalaksana penyakit yang keduanya.
Setelah pasien sudah menyelesaikan pengobatan TB-nya, selanjutya akan dilakukan foto thorax lanjutan di bulan ke-6 dan bulan ke-12 serta di bulan ke-24. Jadi, dalam 2 tahun tetap harus dievaluasi kondisi pasien apakah terjadi kasus kambuhan atau tidak. TBC ini bisa menyebabkan kekambuhan walaupun sudah sembuh. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dengan baik.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa TBC merupakan penyakit menular dan berbahaya. Dengan demikian penting dipahami secara benar oleh masyarakat agar kepedulian terhadap penyakit ini dapat semakin ditingkatkan, demikian pula pencegahannya.
Jika Anda memiliki keluarga atau teman yang mengidap TBC, beri dukungan terhadap mereka untuk berobat hingga tuntas. Jangan lupa untuk menjaga kesehatan dan kebersihan diri serta lingkungan,” jelas dr. Anke.