Makassar, Pilarindonesia.com – Virus Covid-19 telah menyebabkan semua pihak melakukan pengetatan interaksi untuk mencegah penularan. Sejak pertengahan 2020 lalu, pemerintah telah menghentikan banyak kegiatan demi mengurangi korban.
Hal ini juga terjadi di shelter dan wisma penampungan pengungsi etnis Rohingya.
Salah satu pengungsi Rohingya, Abdul Hakim menyampaikan bahwa rata-rata imigran tidak ada berani keluar dan tetap memilih tinggal diam di dalam wisma.

Ali Johar, pengungsi Rohingya lain, juga mengatakan bahwa penghuni wisma diharuskan selalu menjaga jarak, mengenakan masker, serta rutin mencuci tangan.
“Dengan teman-teman yang berada di wisma lain, kami kebanyakan hanya berkomunikasi lewat telepon seluler. Tidak boleh ketemu saat itu supaya tidak ada yang sakit,” ujar Ali.
Yang jadi masalah adalah pengungsi Rohingya yang kebetulan harus meninggalkan wisma karena sudah memiliki keluarga yang merupakan warga lokal, seperti Ali Johar dan Abdul Hakim.
“Karena punya istri dan anak, maka saya harus keluar sehari-hari melihat kondisi mereka,” ujar Abdul.
Dalam kondisi was-was, apapun risikonya, Abdul dan Ali mengaku memaksakan diri ke rumah istrinya di tengah ancaman penularan virus.
Selain berdoa sebagai upaya berserah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, Abdul mengaku memiliki ikhtiar atau upaya agar tidak terjangkit virus dan menularkan kepada keluarganya.
“Jadi, sebelum saya ke rumah istri, saya mandi dulu. Begitu pula kalau sampai di rumah istri, saya mandi lagi. Itu yang saya lakukan untuk mencegah penularan virus Covid-19,” ujarnya.
Prokes yang ketat
Dr Nursaidah, salah seorang tenaga kesehatan di Makassar, mengatakan sejak awal pihaknya telah melakukan upaya dalam penanganan pencegahan COVID-19 di kalangan imigran.
Dia menyebut, pihaknya pernah melakukan tracing dan berlanjut ke testing.
“Beberapa pengungsi yang terkonfirmasi positif langsung diarahkan ke Duta Wisata Hotel (Hotel khusus di Makassar yang diadakan untuk pasien COVID-19), dan beberapa pengungsi lainnya diarahkan isolasi mandiri dengan diawasi Pj (penanggungjawab) pengungsi,” jelas dr Ida, sapaan akrabnya.
Dalam upaya pencegahan penularan virus korona, setiap wisma pengungsi dipantau oleh petugas Puskesmas wilayah setempat.
Dokter Ida juga memastikan bahwa semua wisma penampungan Rohingya di Kota Makassar setiap bulan melakukan pemeriksaan kepada seluruh imigran.

“Semua tempat pengungsi sudah pernah kami turun memantau dan memberikan penyuluhan sebagai upaya dalam pencegahan penularan Covid-19. Dan PKM setiap bulan melakukan pemeriksaan kepada setiap pengungsi,” jelasnya.
Kepala Kantor IOM di Makassar, Son Ha Phuong Dinh, mengatakan sejak awal pandemi Covid-19, pihaknya telah bekerja sama dengan dinas kesehatan dan rumah sakit di seluruh Indonesia untuk memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, termasuk Rohingya, sepenuhnya disertakan dalam tindakan penanggulangan Covid-19.
Selain itu, untuk pengungsi yang dinyatakan positif COVID-19 berdasarkan hasil laboratorium Puskesmas maupun laboratorium rujukan, IOM akan mengikuti rekomendasi dari Puskesmas, termasuk apakah yang dites positif harus menjalani rawat inap atau isolasi mandiri.
IOM juga memberikan perlengkapan medis berupa masker, hand sanitizer, paracetamol, dan vitamin. Sedangkan bagi pengungsi yang diwajibkan melakukan isolasi mandiri, selain perlengkapan medis, mereka juga akan mendapatkan perlengkapan tambahan untuk kesehatan mental dan dukungan psikososial. Layanan kesehatan mental IOM tetap tersedia untuk semua pengungsi selama pandemi, termasuk mereka yang diisolasi, melalui hotline khusus di mana konseling dapat diberikan, atau rujukan dibuat ke spesialis jika diperlukan.
“Saat ini, IOM bekerja sama dengan UNHCR untuk terus mengadvokasi pemerintah Indonesia untuk memasukkan pengungsi dan pencari suaka ke dalam program vaksinasi nasional,” terang Son Ha Phuong Dinh.
Irfan Abdul Gani, peserta fellowship liputan isu pengungsi Rohingya di Kota Makassar.