Makassar, Pilarindonesia.com – Abdul Hakim (28 ) berkenalan dengan Fatimah (38) lewat media sosial Facebook. Setelah setahun kenalan dan intens ketemu, akhirnya Abdul Hakim, yang merupakan pengungsi etnis Rohingya ini, memberanikan diri melamar Fatimah pada Desember 2015 silam.
Dari pernikahan tersebut, Abdul dan Fatimah telah memiliki dua putra: Muhammad Abdul Hafidz (5) dan Muhammad Abdul Aziz (3).
Sebelum menikah, Abdul tak canggung memberitahukan status kewarganegaraannya yang masih “tidak jelas” itu kepada sang mertua. Bahkan, uang “panaik”, tambahan mahar ala suku Bugis-Makassar dalam sebuah prosesi pernikahan, tidak dimilikinya.
“Tetapi bapaknya baik. Bapaknya hanya bilang; tidak apa-apa, asalkan kamu bisa membahagiakan anakku sampai dipisahkan oleh kematian,” tutur Abdul.
Ali Johar (27 tahun) juga sudah menikah dengan warga lokal. Pengungsi etnis Rohingya ini menikahi Yuliani (34) yang telah memberinya seorang anak perempuan yang lucu bernama Alita Huraiyya Begom. Saat ini Alita sudah berusia 4 tahun 6 bulan.
Ali merupakan salah satu etnis Rohingya yang melarikan diri akibat konflik yang melanda wilayahnya di Arakan, Rakhine State.

Bersama sejumlah warga Rohingya lainnya, Ali bertolak dari Myamar pada April 2013. Mengarungi lautan luas selama 9 hari 9 malam, rombongan Ali pun tiba di perairan Aceh. Sebelum dikirim ke Tanjung Pinang, Ali dan kawan-kawan juga sempat merasakan dinginnya tahanan imigrasi di Banda Aceh lebih dari sebulan.
Sejak lima tahun terakhir, Ali bermukim di Makassar. Berpindah-pindah dari sejumlah wisma penampungan imigran. Sebelum tiba di Kota Daeng, sebutan Makassar, Ali Johar sempat mendekam di Rumah Detensi Imigrasi Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, selama setahun lebih.
Di Makassar itu dia bertemu Yuliani dan keduanya saling mengikat janji sehidup semati.
Forum Peduli Rohingya Makassar, salah satu lembaga yang digerakkan kalangan aktivis ormas, mencatat sebanyak ada 22 imigran Rohingya yang telah beristrikan warga lokal. Para istri berasal dari sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Ada di antara mereka yang sudah memiliki anak. Termasuk Abdul dan Ali.
Bekerja Apa Saja

Setelah menikah, Abdul menyadari kalau kewajibannya sebagai kepala rumah tangga itu berat. Dia harus bisa menjadi suami dan ayah yang membanggakan bagi kedua anaknya, terlepas dari statusnya sebagai pengungsi.
Demi kebahagiaan istri dan buah hatinya, lelaki yang bisa berbahasa Indonesia ini rela bekerja apa saja.
Nasib baik rupanya berpihak pada Abdul. Dia diterima bekerja di sebuah usaha jasa layanan service alat penyejuk ruangan (AC) di Makassar. Setiap hari, ia dan karyawan lain yang merupakan warga Makassar berkendara dan singgah di rumah pelanggan yang meminta AC-nya dibersihkan atau diservis. Penghasilan Abdul lumayan cukup untuk kebutuhan keluarganya.
Abdul tidak hanya bekerja, tetapi dia juga belajar tentang layanan service penyejuk udara. Seperti yang sudah diprediksi, dia kalah saing di tempat usaha tersebut. Abdul tersisih, sehingga terpaksa hengkang dari pekerjaan tersebut.
Kembali ia wara-wiri mencari pekerjaan meskipun konsisten di sektor penyejuk udara. Dia kembali mujur, sebuah toko yang menjual penyejuk udara menerimanya sebagai sales.
“Setiap satu penjualan AC, saya dapatkan Rp 50.000. Bersyukur ada penghasilan begini. Daripada tidak ada sama sekali. Apalagi di masa Covid-19 ini, susah cari pekerjaan,” kata Abdul menambahkan kalau pekerjaan yang dilakoninya tidak dilarang United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
Seperti pengungsi Rohingya lainnya, Abdul setiap bulannya juga rutin mendapat insentif dari International Organization for Migration (IOM) sebanyak Rp 1.250.000.
Segendang penarian, Ali punya keresahan yang sama. Insentif bulanan yang diterima Ali dari (IOM) sebesar Rp1.250.000, dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota besar seperti Makassar. Apalagi untuk menghidupi anak istrinya.
Sebagai pengungs etnis Rohingya, Ali sadar ada aturan yang mengikat dan melarang para imigran untuk bekerja. Makanya dia bertahan dengan melakukan pekerjaan sederhana, misalnya menawarkan jasa pengecatan rumah, jadi buruh bangunan atau memperbaiki perabot rumah tangga.
“Saya tetap harus mencari pekerjaan untuk menambah penghasilan. Pekerjaan apapun itu akan saya lakukan,” kata Ali dalam Bahasa Indonesia yang masih terbata-bata.
Bersama dengan istri, Ali beternak kambing di sekitar rumah di Kota Makassar. Dia berharap kambing-kambing itu akan bisa dijual setelah besar.
Sebelum virus korona mewabah di Makassar, Ali bekerja serabutan termasuk menjadi buruh bangunan. Bersama warga lokal, Ali ikut membantu membangun sebuah gedung bertingkat di Kota Makassar.
Pekerjaan Ali saat itu lumayan berat. Dia harus mengangkut pasir dari lantai dasar ke lantai atas dengan cara dipanggul.
“Tapi mau bilang apa lagi. Kalau tidak begini, tidak makan,” tuturnya.
Dari pekerjaannya itu, Ali mendapat upah yang tidak seberapa. Namun dia cukup senang. Dana itu mampu menambah kas keuangan keluarga kecilnya, sehingga dapur mereka tetap bisa mengepul.
Dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang meningkat, plus lingkup pergaulan yang kian meluas, Ali pun leluasa berpindah-pindah pekerjaan.
“Yang penting pekerjaan saya bukan pekerjaan yang dilarang UNHCR. Kalau pekerjaan begini (buruh bangunan) tidak masalah,” kata Ali.
Minim Dokumen
Iin Wahyuni (32), warga yang kediamannya terbilang cukup dekat dengan rumah istri Ali Johar di Makassar, menganggap pernikahan seorang imigran dari etnis Rohingya dengan warga lokal adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Apalagi, dia menyatakan lelaki dari etnis Rohingya yang menikahi warga Makassar ini rata-rata bertanggungjawab.
“Kita melihat adanya keseriusan dari mereka, karena rela bekerja apa saja tanpa merasa risih asalkan pekerjaan yang mereka kerjakan halal dan juga bukan pekerjaan yang dianggapnya melanggar peraturan dari PBB,” kata Iin.
Iin hanya berharap agar Pemerintah Kota Makassar agar dapat segera mencarikan jalan keluar dari sisi kelengkapan administrasi untuk istri dan anak-anak buah pernikahan dari para imigran Rohingya tersebut.
Saat menikah, baik Abdul Hakim maupun Ali Johar, hanya mengantongi surat keterangan nikah dari imam tempat mereka dinikahkan. Surat itu menjadi pegangan pengakuan bahwa yang bersangkutan telah melangsungkan pernikahan yang sah secara agama Islam.
Meskipun menikahi warga negara Indonesia (WNI), semua pasangan ini hanya mengantongi surat keterangan nikah seperti Abdul Hakim dan Ali Johar. Bukan buku nikah resmi, layaknya yang dimiliki pasangan suami istri di Indonesia.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kota Makassar, DR. Aryati Puspasari Abady, M.Si., menegaskan bahwa pernikahan dengan pengungsi sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Kependudukan.
Kendati demikian, Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dukcapil Makassar, Melyana, menjelaskan perihal identitas kepedudukan dari istri pengungsi Rohingya itu.
Menurut Melyana, sejumlah perempuan yang telah menikah dengan pengungsi Rohingya memiliki kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai WNI, sehingga dalam hal pelayanan kependudukan disebutnya tidak ada masalah.
“Yang masalah itu hanya status suaminya sebagai imigran Rohingya, karena tidak bisa mendapatkan KK atau pun KTP. Sementara istri-istri mereka [statusnya] tidak ada masalah,” jelas Melyana.
Begitu pula Indonesia tidak memandang status anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan antara WNI dan pengungsi atau imigran menjadi “bermasalah”.
“Anak hasil pernikahan itu secara otomotis berstatus sebagai anak ibu. Sang anak tetap akan memperoleh identitas kependudukan dan tertera di KK ibunya,” kata Melyana.
“Anak statusnya anak ibu (ibu sebagai pengganti keterangan ayah). Dengan status ini, selama kelengkapan administrasi dia miliki semua, maka bisa digunakan untuk memperoleh BPJS, misalnya,” dia menambahkan Melyana.

Untuk urusan pernikahan hingga kelengkapan buku nikah, Melyana mengaku tidak bisa berkomentar panjang lebar sebelum mengecek keterangan nikah mereka, sebab ia menduga rata-rata imigran Rohingya yang menikah ini kebanyakan hanya menikah secara siri.
Sementara itu Kepala Kantor IOM di Makassar, Son Ha Phuong Dinh, mengatakan pernikahan pengungsi Rohingya dengan penduduk lokal sepenuhnya bersifat sukarela bagi pengungsi.
“Dan banyak pengungsi memutuskan tidak memberi tahu IOM, karena dianggap urusan pribadi,” pungkasnya.
Sebagai warga berstatus pengungsi Abdul dan Ali tinggal di penampungan. Ada peraturan UNHCR yang memaksa mereka sudah berada di shelter sebelum pukul 23.00 WITA. Mereka memanag tidak boleh menginap di luar wisma penampungan.
Ini menjadi tantangan untuk keduanya secara mereka sudah berkeluarga. Setiap malam Abdul dan Ali harus kembali ke penampungan, meninggalkan istri dan anak-anak mereka.
Family must be together, atau keluarga harusnya selalu bersama. Tetapi ini tidak berlaku untuk Abdul dan Ali.
Semuanya karena status mereka sebagai pengungsi etnis Rohingya yang sedang berjuang mencari negara ketiga untuk masa depan lebih baik.
Penulis: Irfan Abdul Gani, peserta fellowship liputan isu pengungsi Rohingya di Kota Makassar.