Makassar, Pilarindonesia.com – Abdul Hakim sudah cukup lama berada di Indonesia, sudah hampir 11 tahun. Dia masih ingat saat meninggalkan Arakan, Rakhine State Myanmar pada 2010 silam dengan tujuan Eropa untuk mencari perlindungan dan suaka. Waktu itu Abdul Hakim bersama dengan 128 warga Rohingya nekat melakukan perjalanan hanya dengan menumpang kapal kayu.
Selama beberapa hari, tiba-tiba kapal mereka terdampar di perairan Thailand.
“Kami berada di Thailand selama 2 hari 1 malam, lalu kapal kami dibuang kembali ke lautan lepas setelah seluruh BBM-nya diambil dan mesinnya dirusak oleh militer Thailand,” kisah Abdul.

Terombang-ambing di tengah lautan, Abdul dan ratusan warga Rohingya lainnya hanya bisa berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa. Mereka mengandalkan dorongan dari hembusan angin dan hempasan ombak hingga sebuah kapal pemancing dari Malaysia menemukan mereka. Awak kapal tersebut “berbaik hati” untuk mengantarkan kapal mereka ke perairan Indonesia.
“Kapal mereka mendorong kapal kami ke perairan Indonesia. Kata mereka; banyak berdoa saja, pasti akan ada nelayan Indonesia sampai di lokasi ini dan membantu Anda. Lalu, mereka meninggalkan kapal kami,” jelas Abdul, yang juga sebelumnya berpindah-pindah dari kota ke kota lainnya, sebelum akhirnya berada di Kota Makassar.
Doa para etnis Rohingya itu baru terjawab setelah satu hari satu malam berjuang melawan dinginnya udara malam di tengah lautan. Tanpa mereka sangka, ternyata baling-baling kapal mereka tersangkut di jala nelayan Indonesia. Perlahan kapal mereka ditarik mendekat ke perahu nelayan Indonesia.
“Awalnya mereka curiga kami penjahat, sehingga mereka memperlihatkan senjata. Tetapi setelah kami menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, mereka akhirnya mengerti dan segera menarik kapal kami dan memberikan bantuan seperti memberikan makanan dan segera berkomunikasi dengan pihak pemerintah Aceh hingga kami bisa dibawa ke Aceh,” terang Abdul yang saat itu masih berumur 16 tahun.
Dari Aceh, akhirnya Abdul tiba di Makassar dan tinggal di tempat itu hingga saat ini.
Makassar menjadi salah satu kota yang ditempati sejumlah pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar.
Berdasarkan data International Organization for Migration (IOM) per Februari 2021, ada 154 pengungsi etnis Rohingya yang berada di Makassar. Mereka tersebar di sejumlah wisma penampungan.
Rata-rata pengungsi Rohingya tersebut sudah tinggal selama bertahun-tahun. Bahkan ada yang sudah tinggal lebih dari 10 tahun hingga kawin-mawin dengan warga lokal.
pengungsi Rohingya juga sudah merasa jenuh tinggal lama di Kota Makassar. Betapa tidak, ruang gerak mereka dibatasi. Melanggar sedikit, sanksinya langsung ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar yang berlokasi berada di di Bollangi, Kabupaten Gowa.
Didampingi sejumlah pimpinan ormas di Makassar, pengungsi Rohingya sudah berulangkali mengadu ke DPRD Sulawesi Selatan akan nasib mereka yang tidak jelas perihal agenda pemberangkatan ke negara pihak ketiga tujuan suaka, tetapi tidak ada hasil sampai sekarang.
Bahkan di dalam setiap rapat dengar pendapat yang digelar di kantor DPRD Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar, yang dihadiri perwakilan IOM, UNHCR, dari pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan, pertanyaan dan jawaban berulang acap kali diperoleh imigran Rohingya.
“Kami juga heran, padahal sudah berulang kami menyampaikan ke DPRD Sulawesi Selatan, tetapi tidak ada hasil. Tetap saja tidak ada kepastian kapan saudara-saudara kita dari warga Rohingya ini akan diberangkatkan ke negara tujuan suaka,” kata Ketua Forum Ummat Islam Bersatu (FUIB) Sulawesi Selatan, Muchtar Daeng Lau, yang rutin mendampingi dan menyuarakan aspirasi pengungsi Rohingya di Makassar.
Menurutnya, dari hasil penyampaian UNHCR dan IOM kepada Dewan di setiap agenda rapat tersebut, menggambarkan betapa pelik urusan pemberangkatan imigran Rohingya ini.
Belum lama ini, Muchtar Daeng Lau bersama puluhan pengungsi Rohingya kembali mendatangi gedung DPRD Sulawesi Selatan, yang diterima langsung Wakil Ketua DPRD Sulawesi Selayan, Muzayyin Arif.
Dalam kesempatan itu, Nur Islam, seorang yang ditokohkan di kalangan pengungsi Rohingya di Makassar, lagi-lagi menyampaikan kegalauan mereka.
Akibat tidak jelasnya pemberangkatan mereka, pria yang juga sudah lama tinggal di Kota Makassar itu, mengungkapkan kondisi kehidupan mereka yang terkatung-katung, baik dari segi ekonomi, dan pendidikan yang menjadi penentu akan masa depan anak-anak mereka
Olehnya, Andi Amin, kuasa hukum pengungsi Rohingya Makassar, meminta kepada DPRD Sulawesi Selatan agar mendesak UNHCR agar segera memberangkatkan seluruh pengungsi Rohingya itu.

Alasannya, ia menyebut, warga Rohingya berbeda dengan imigran lainnya. “Kalau berdasarkan hasil temuan tim pencari fakta PBB, pengungsi Rohingya ini adalah korban genosida. Mereka adalah korban pelanggaran HAM berat, sehingga semestinya diprioritaskan untuk segera memperoleh kejelasan kewarganegaraan,” jelasnya.
Wakil Ketua DPRD Sulawesi Selatan, Muzayyin Arif, menyampaikan bahwa memang seharusnya persoalan pengungsi Rohingya yang sudah berlarut-larut ini telah mendapat penyelesaian yang baik. Sehingga, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut meminta kepada UNHCR dan IOM mampu bekerjasama dengan baik dalam menangani persoalan Rohingya itu.
“Karena kalau tidak diperhatikan dengan baik, maka akan jadi problem sosial yang berdampak pada kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan,” tutur Muzayyin.
DPRD Sulawesi Selatan juga telah menyurat ke Komisi I DPR RI belum lama ini dalam rangka menindaklanjuti persoalan pengungsi Rohingya di Makassar.
Impian terbesar bagi pengungsi Rohingya jika sudah berada di negara tujuan suaka, seperti di Amerika Serikat atau di Kanada serta beberapa negara lainnya di Eropa adalah memperoleh status kewarganegaraan, sehingga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Jaffar, seorang pengungsi Rohingya lainnya di Makassar, mengaku hingga kini belum bisa menikah, karena memiliki penyakit di bagian kelamin, dan ia tidak mampu berobat dengan baik lantaran terkendala pada masalah keuangan.
Dia juga berkali-kali tampak hendak melampiaskan emosinya di setiap menghadiri pertemuan di DPRD Sulawesi Selatan.
“Saya tidak bisa menikah, karena saya ada sakit, tetapi kenapa saya belum diberangkatkan?” kata Jaffar dengan nada bertanya-tanya.
Yance Tamaela selaku penanggungjawab UNHCR Makassar, saat menyampaikan penjelasan ke DPRD Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu, mengaku pihaknya sebenarnya terus melakukan lobi kepada negara pihak ketiga yang dapat menerima pengungsi Rohingya.
Namun memang sampai sekarang belum ada konfirmasi kepastian perihal penerimaan imigran asal Rohingya.
Dalam setiap pertemuan, UNHCR selalu menyampaikan bahwa kendala utama dalam agenda pemberangkatan pengungsi Rohingya adalah kuota yang disampaikan negara pihak ketiga yang terbatas, kemudian persoalan identitas kewarganegaraan yang tidak dimiliki imigran Rohingya. Adapun prioritas pemberangkatan, yakni bagi imigran yang memiliki penyakit kronis.
Kepala Kantor IOM di Makassar, Son Ha Phuong Dinh, menyampaikan sepanjang 2020, di tengah pandemi COVID-19, IOM Indonesia telah membantu keberangkatan atau penempatan kembali sebanyak 47 pengungsi di Makassar dari berbagai negara ke negara ketiga atau negara penerima pengungsi yang diidentifikasi oleh UNCHR.
“Dari yang diberangkatkan itu, di mana 19 di antaranya adalah imigran Rohingya. IOM bekerja sama erat dengan UNHCR, tetapi IOM tidak menjadi penasihat atau terlibat dalam pengambilan keputusan dalam proses penempatan pengungsi ke negara ketiga,” kata Son Ha Phuong Dinh melalui keterangannya.
Irfan Abdul Gani, peserta fellowship liputan isu pengungsi Rohingya di Kota Makassar.