Tiga hari salju turun di Kota Istanbul, Turki. Laksana kapas yang jatuh dari langit, salju menutupi permukaan kota. Pohon-pohon di sepanjang jalan kering. Cuaca juga tidak menentu. Kadang cerah, hujan, dan salju terjadi silih berganti.
Di kota ini, salju jarang sekali turun, bisa dihitung jari. Berbeda dengan Bursa, salah satu lokasi wisata salju di Turki. Tepatnya di puncak Gunung Uludag.
Siang ini, saya menyusuri kawasan Sultan Ahmet. Dari rumah, saya naik bus metro ke Visniciler. Stasiun yang bersebelahan dengan Istanbul University. Setelah jalan kaki sekitar 200 meter, saya tiba di stasiun Trem. Tepatnya di belakang kampus. Warga Istanbul memanfaatkan Trem sebagai transportasi publik. Kereta ini memiliki rel khusus membelah kota Istanbul. Dari Instanbul sisi Eropa menyeberang ke Asia.
Tiba di Stasiun Sultan Ahmed, saya menuju pintu masuk kawasan Hagia Sophia atau Aya Sofya. Di depan pos, saya merekam polisi yang melakukan pemeriksaan, salah satu petugas menegur. Nampaknya dia tidak suka direkam. Buru-buru saya turunkan dan minta maaf. ” I am sorry, Miss“.
Biasanya pengunjung memadati taman masjid. Mereka berkumpul di area air mancur menari. Lokasi yang jadi titik tengah Masjid Aya Sofya dan Masjid Biru. Berfoto dengan latar masjid atau makan jagung bakar yang dijual di sekitar taman. Ada pula yang keliling kawasan dengan bus pariwisata.
Aya Sofya yang baru difungsikan sebagai masjid ramai dikunjungi. Untuk masuk ke dalam, pengunjung harus antri dan membentuk barisan di depan gerbang. Petugas mengatur pengunjung agar bergiliran masuk ke area masjid.
Empat pilar menara menjulang ke langit, konon itu sebagai simbol Islam. Tiang-tiang penyangga terbuat dari pualam warna-warni menopang masjid. Dinding masjid penuh dengan aneka rupa ukiran. Karpet-karpet tebal menutupi lantai. Langit-langit masjid sangat indah dengan perpaduan seni lukis kaligrafi besar dan arsitektur yang memesona. Seniman Kazasker Mustafa Izzet adalah orang di balik keindahan itu.
Di bawah tulisan Allah dan Muhammad, pengunjung biasa berfoto. Tetapi ada satu yang berbeda. Lukisan Bunda Maria yang selama ini dibiarkan terbuka, kini tertutup kain putih sebab posisinya tepat berada di arah kiblat.
Sementara itu, lukisan mozaik tokoh Kristen lain di tembok masjid dibiarkan terbuka. Pemerintah Turki beralasan mozaik tersebut tidak mengganggu jamaah yang akan shalat.
Hagia Sophia pernah menjadi basilika, museum dan masjid. Pertama kali dibangun pada masa Kekaisaran Bizantium sebagai Basilika Gereja Ortodoks Yunani. Kira-kira 1500 tahun lalu. Bangunan itu, simbol keindahan arsitektur Bizantium di masa itu.
Setelah 86 tahun sebagai museum. Aya Sofya baru difungsikan sebagai masjid pada 24 Juli 2020 lalu. Shalat Jumat pertama kali digelar saat itu. Ribuan umat Muslim menjadi saksi sejarah perubahan itu. Rakyat Turki bergembira, Presiden Erdogan dianggap paling berjasa mengembalikan Aya Sofya.
Di sebelah barat Aya Sofya terdapat Masjid Biru. Masjid dengan enam menara yang merupakan ikon kota Istanbul. Peninggalan Sultan Ottoman yang masih berfungsi hingga saat ini. Interior masjid yang didominasi warna biru. Konon, 20.000 keping keramik berbagai motif, daun, bunga dan buah menghiasi masjid.
Saya menikmati berjalan di taman masjid itu. Bunga-bunga tulip belum menampakkan diri. Dingin membuat tanaman hibernasi. Pengunjung lain nampak mengabadikan dua masjid yang berhadapan itu.
Hari itu, sungguh saya menikmati perjalanan ke masjid. Takjub dengan interior, arsitektur bersejarah itu. Masih tegak, kokoh meski bangunannya sudah tua. Bangga dengan Muhammad Al Fatih yang sujud pertama kali di masjid itu saat berhasil menaklukkan Konstantinopel. Dia juga tidak mengganggu umat non-Muslim yang berlindung dalam masjid kala itu.
Saya kembali ke stasiun Sultan Ahmed. Naik Trem menuju Stasiun Grandbazaar, lalu jalan kaki ke stasiun Vesneciler, melewati Istanbul University, Kampus terbaik di dunia.
Gerbang mewah di gedung utama universitas Istanbul menyimpan sejarah bagi Istanbul. Pintu gerbang kampus cukup lebar. Bendera Turki ukuran besar berada di dua sisi gerbang. Ada tulisan bertinta emas di pintu gerbang tetapi saya tak faham artinya.
Sudah hampir sore, saya menyusuri jalan di samping kampus yang menghubungkan ke stasiun Vesniciler. Naik bus ke arah Fatih. Pesan WhatsApp yang masuk ke ponsel mengabarkan sop ayam sudah siap dihidangkan. Harus cepat ini, sayang kalau dingin.
Ismawan As, penulis asal Kota Makassar, yang saat ini berada di Turki.