Makassar, Pilarindonesia.com – Anggota DPD RI, Tamsil Linrung, mengatakan eksistensi Wahdah Islamiyah di kancah dakwah dan pergerakan Islam telah melukis jejak kiprah. Kontribusi nyata dari Wahdah Islamiyah telah dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia.
“Wahdah Islamiyah yang konsen di dunia pendidikan, bisnis, kesehatan dan informasi kini menjelma menjadi satu organisasi kemasyarakatan yang diperhitungkan. Figur-figur sentral Wahdah Islamiyah bahkan muncul mengisi etalase tokoh umat. Wahdah Islamiyah tidak hanya menambah panjang kafilah kebangkitan (revivalisme) Islam di Indonesia, namun juga memperkuat spektrum kebangkitan tersebut,” kata Tamsil dalam Webinar Kebangsaan yang digelar Wahdah Islamiyah di sela perhelatan Musyawarah Kerja Nasional XIII lewat online, Sabtu (26/12/2020).
Dia menyampaikan, secara kultural, proses tarbiyah yang dilakukan Wahdah Islamiyah telah menukik hingga ke akar umat. Tarbiyah dalam berbagai definisinya, baik secara formal melalui lembaga pendidikan yang dijalankan, maupun tarbiyah secara tidak langsung dengan keterlibatan organisasi ini dan tokoh-tokohnya, mampu mendorong dinamika sosial kemasyarakatan, menciptakan kematangan akidah, serta menginjeksikan kebaharuan pemikiran dan pendekatan terkini dalam membangun umat dengan tetap berpijak kuat pada manhaj ahlussunnah wal jamaah. Wahdah Islamiyah sudah sangat matang dalam melakoni hal itu.
Tamsil menuturkan, persoalan bersama yang dihadapi sekarang ini dinamika kebangsaan yang semakin tidak sehat. Bahkan mengalami dekadensi dan deklinasi.
“Ini menjadi tanggungjawab akidah dan panggilan moral ormas-ormas Islam, termasuk Wahdah Islamiyah,” tuturnya.
Tamsil memaparkan panjang terkait persoalan yang dihadapi bangsa sekarang ini, di antaranya dalam isu demokrasi, HAM dan kebebasan, ia menyebut, pandemi Covid-19 betul-betul dimanfaatkan untuk memuluskan berbagai agenda pemerintah yang dalam situasi normal sulit diimplementasikan. Namun Covid-19 seperti dianggap sebagai legitimasi. Paling baru adalah UU Omnibus Law yang disahkan atas nama investasi dan pemulihan krisis ekonomi. Argumentasi yang tentu saja tidak bisa diterima oleh nalar kita.
Meski mendapat badai protes yang bergelombang, dari berbagai elemen masyarakat yang tumpah ruah di jalan, UU kontroversi itu tetap dipaksakan. Kendaki memakan banyak korban. Menurut Amnesty Internasional Indonesia, 402 orang jadi korban kekerasan aparat dalam demo penolakan UU Omnibus Law.
Demikian pula sebelumnya, RUU Haluan Ideologi Pancasila yang ditengarai bakal mengaburkan ideologi bangsa. Juga ada upaya pemaksaan. Padahal, berbagai elemen umat telah bersuara lantang, bahwa RUU itu akan menjadi karpet merah bagi bangkitnya komunisme yang jelas-jelas dilarang dan bertentangan dengan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia. Ideologi usang, tidak laku, namun terindikasi diberi jalan kebangkitan.
Tamsil mengatakan, situasi dan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini saja, telah membawah jauh bangsa ini ke jalan yang menyimpang. Indonesia, seperti nada cemas yang ditulis oleh Harvard University, mungkin akan mengalami kehidupan demokrasi yang berbeda. Semakin mundur setelah Covid-19 ini berlalu.
Harvard menyebut, pemerintah otoriter yang hampir bisa dipastikan secara ekonomi disetir oleh oligarki dan konglomerasi, tampak terburu-buru mengesahkan banyak aturan. Aji mumpung. Karena perhatian rakyatnya tersedot ke persoalan Covid-19.
Tamsil menguraikan, Indonesia semakin dekat dengan apa yang disebut hybrid regime. Rezim hibrida. Di mana penguasa menganut politik campuran sebagai akibat dari transisi yang tidak selesai dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Rezim hibrida menggabungkan fitur-fitur otokratis berdasarkan kekuasaan otoritarian dengan fitur demokrasi. Anasir-anasir demokrasi tampak digunakan. Namun justru untuk melnggengkan praktik otokrasi. Dalam bahasa lain, hal ini merupakan refleksi menguatkan ruling oligarchy seperti istilah yang diintroduksi oleh Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, AS.
“Gambaran situasi kebangsaan di atas, saya kira sudah ditangkap dengan baik oleh jajaran pengurus Wahdah Islamiyah, sehingga dalam Musyawarah Kerja Nasional kali ini mengangkat tema “Mengokohkan Wawasan Kebangsaan dalam Mengatasi Persoalan Umat dan Bangsa”. Saya ingin kita memaknai tema “Wawasan Kebangsaan Menyatukan Anak Bangsa” dalam telaah tantangan kekinian (kontemporer) dan kedisinian (kontkestual) sebagai panggilan untuk berada di dalam shaf jamaah yang berupaya meluruskan kiblat bangsa. Wawasan kebangsaan dalam terminologi kita mencakup jiwa persatuan, pengakuan pada pluralitas (humant pluralism) dan sikap moderat (ummatan wasathan) sesuai dengan spirit demokrasi,” jelasnya.
Irfan